Only Learned Bad Things [1]


September, 2022
Bagaimana cara mengatasi masalah masalalu yang belum usai? 



Foto itu masih ku pajang di meja belajar yang kini berubah menjadi meja kerjaku. Seorang laki-laki dan perempuan yang tersenyum bahagia. Aku tersenyum miris, sebahagia itukah aku bersamanya dulu ?
Tak ada deskripsi lain yang sedang ku rasakan saat ini, lima tahun tanpa kabar, aku kini merindukannya.
Lima tahun lalu, setelah perpisahan itu tiba, aku menganggap semuanya akan baik baik saja. Semuanya akan berlalu. Kisah-kisah yang telah ku alami dengannya hanyalah kisah klasik  yang biasa terjadi pada anak-anak remaja. Ku fikir cinta yang ku rasakan dahulu hanyalah cinta monyet biasa.
Aku tak menyangka, berteman dengannya akan menimbulkan masalah dalam diriku.  Mencintainya adalah masalah yang sampai saat ini menjadi masalahku yang belum terselesaikan.
Kita hanya sebuah kisah parallel yang berdampingan tapi tidak bias bersama.
 “Embun, ayoo” Gita menepuk bahuku, menyadarkanku yang sedang mengenang  masalalu.

Dia Langit, dulu laki-laki itu adalah langitku

Langit, kamu indah. Tapi keindahanmu terkadang membunuhku.

***
Mei 2016
Rutinitas Minggu pagi hari ini sedikit berbeda,aku sedang menunggu Langit di lapangan Futsal dekat komplek. Minggu ini adalah jadwal Langit latihan untuk kejuaraan Futsal antar komplek, tentu saja aku harus melihat latihan ini. mendukung apapun yang Langit lakukan adalah suatu keharusan untukku, meskipun hanya sebatas latihan, seperti saat ini.
Ku fikir, tak akan sepenuh ini jika hanya melihat latihan.  Semua di dominasi oleh perempuan-perempuan komplek yang menyukai Langit. Aku mendengus, menyesal tak sedari awal aku datang ke tempat ini.
“Embunnnnnn” Langit memanggilku sambil melambaikan tangannya. Aku terkejut, ku fikir Langit tak tahu keberadaanku yang sedang melihatnya latihan. Dengan hati yang senang aku pun melambaikan tanganku.
“lo ngapain disini?” tanya Langit dengan nafas terengah engah. Ia menepi ke bangku penonton sedangkan posisinya di gantikan oleh pemain yang lain.
“liat kamu main” jawabku polos. “menurut pengamatanku kamu udah kaya Ozil”
“hahaha lo bisa aja” Langit mengacak rambutku
“gimana Arsenal semalem?”
“sukses lah 3-0 lawan Everton”
“MU kemarin juga menang”
“engga nanya”
“lo engga seharusnya bete gitu sama klub kesayangan gue Cuma karena RVP pindah dari Arsenal ke MU. Dia sendiri yang khianat, lo seharusnya marah sama RVP bukan sama MU”
“kalo MU engga terus ngegoda RVP buat pindah. Mungkin RVP engga akan pergi ninggalin Arsenal” aku menarik nafas dalam “dan setelah RVP di MU dia engga sebagus di Arsenal”
“terus aja nyalahin MU”
“lagian, MU itu klub paling serakah di Inggris, kalau di Jerman itu PSG kalau di Spanyol Real Madrid”
“heh, Cristian Ronaldo pindah dari MU ke Madrid gue engga marah”
“itukan beda kompetisi. MU di Inggris, Madrid di Spanyol”
“terserah elo dehh, cewe emang baperan. Lagian RVP udah mau pindah lagi”
“itu kan karena MU udah engga peduli, karena RPV jarang masuki bola. Mungkin kutukan dari Arsenal karena dia udah ngekhianatin klubnya sendiri”
Langit hanya menjawab dengan anggukan dengan bibir yang menggerutu.  mungkin ia kesal karena aku terus memojokkan klub kesayangannya “ kamu engga main lagi?” Langit menggeleng
“cape,engga ada yang ngasih gue minum  nihh”
Spontan aku tersenyum, kode keras Langit padaku. “iya, iya aku bawa ko” aku menyodorkan satu botol air mineral yang sebenarnya sudah aku pegang dari tadi. “Langit, tapi ada hal yang menarik dari cerita tadi”
“apa?”
perselingkuhan
Langit tersedak, entah mungkin karena ucapanku atau karena ia terburu-buru meneguk air mineralnya.
“ibaratkan klub Arsenal sama RVP adalah sepasang kekasih. Lalu MU jatuh cinta sama RVP, MU gencar menggoda RVP karena MU melihat bahwa RPV itu orang yang ia cari selama ini untuk mengisi hatinya. Dan RVP pun akhirnya luluh dengan godaan MU, dia meninggalkan Arsenal demi MU. Tapi, ketika MU menjalani hubungan sama RVP ternyata RVP tak sebaik apa yang dilihat MU ketika ia masih bersama Arsenal. Dan akhirnya tragis, RVP di biarkan begitu saja”
“jadi intinya” Langit menyeka ucapanku. Tak kusangka ia menyimak ucapanku
 “manusia itu serakah, manusia itu selalu iri dengan apa yang orang lain punya. Padahal sesuatu yang terlihat baik di oranglain belum tentu baik untuk dirinya. Terus mati-matian buat merebut sesuatu yang dimiliki orang lain, bukankah Tuhan menbenci hal itu? tapi hal yang menariknya lagi, manusia melakukan semua itu karena satu hal”
“apa?”tanya Langit terlihat penasaran. Aku tersenyum, melanjutkan ucapanku yang terjeda oleh pertanyaan Langitt.
“kebahagiaan. Padahal mudah sekali menciptakan kebahagiaan tanpa harus merusak kebahagiaan orang lain”.
“harusnya gue rekam nihh, jarang jarang lo kaya gini” Langit mengacak rambutku “ biasanya semua ucapan lo berasal dari kutipan novel yang sering lo baca”
“bisa jadi”
Aku menepis tangan Langit yang masih mengacak rambutku. Dia tidak tahu, aksinya ini membuat jantungku berdegup kencang.Kelemahan yang Langit tak pernah tahu.


Aku tersenyum,


Langit, andaikan kamu tahu
***

September , 2022
Hari ini aku dan Gita akan menemui klien yang akan telah mempercayakan dekorasi pertunangannya pada Wedding Organizer milikku. Githa bilang ia sudah menghubungi kliennya dan akan berjumpa di sini, di kafe dekat kantorku. Sesampainya di kafe, Githa berjalan di depanku, ia melambaikan tangannya pada seseorang. Mataku otomatis mengikuti arah lambaian Githa.


Langit.


Kakiku tiba-tiba saja beku, mataku tiba-tiba berair, mulutku kelu dan hatiku, ohh hatiku. Ia sepertinya tak baik-baik saja, degupan jantungku semakin cepat mengikuti detik jam di tanganku. Andaikan saat ini aku bisa menampar waktu yang tidak tepat ini. Aku bahkan belum berdamai dengan masalaluku.

Aku tak pernah tahu bahwa bertemu denganmu membuat efek yang aneh pada tubuhku.

Setelah lima tahun berlalu, pertama kalinya aku bertemu dengannya disini. Bersama dengan Githa. Aku tak menyangka bahwa Langitlah yang akan menjadi klienku.
“Langit, kamu apa kabar?” tanya Githa, sementara aku masih mematung. Seluruh badanku masih belum bisa bergerak, fikiranku masih melayang entah kemana. Mungkin mencari kepingan – kepingan kenangan dulu di saat aku dan Langit masih bersama sebagai seorang teman.
“aku baik” jawab Langit. “duduk duduk” Langit mempersilahkan Githa untuk duduk. “Embun. Lo engga duduk” suara Langit sedikit menyadarkaku. Aku duduk di samping Githa sementara Langit duduk berhadapan dengan Githa. Lebih baik seperti ini, setidaknya jika berhadapan dengan langit dengan posisi hatiku yang sedang kacau akan berefek kurang baik untukku.
“wahhh engga nyangka nih ada reuni dadakan” Githa menyenggolku yang masih membisu.
“iya, ga nyangka ternyata pemilik Wedding Organizernya temen sendiri” ucap Langit kikuk. Mataku masih belum mampu menatap Langit,  perasaanku begitu tak karuan. Apa ini yang banyak orang katakan. Bahwa bertemu dengan rindu itu menyesakkan.
          “oh iya, ngomong ngomong engga di bawa calonnya?” ujar Gita yang dari tadi tak melihat keberadaan perempuan yang akan menjadi calon Istri Langit.
“dia masih kerja. Dia percayain semuanya sama gue”


Langit akan tunangan

Aku menarik nafas. Oke, aku harus profesional. “jadi, konsep apa yang mau kamu buat buat acara tunangan ini?” ku potong pembicaraan Githa dan Langit. Aku ingin cepat-cepat selesai.
“ahhh, sepertinya aku harus ke toilet” Githa melirikku dan pergi menuju kamar mandi, Githa meninggalkanku bersama Langit, momen ini yang ku harap bisa ku hindari, namun nyatanya terjadi. satu harapan yang Tuhan kabulkan saat ini: aku bertemu rinduku. Satu tamparan yang ku terima saat ini: rinduku bukan milikku.
“gimana kabar lo Embun?” Langit mengalihkan topik pembicaraan “gue kangen sama elo”
“aku baik” jawabku singkat.
“udah lama kerja bareng sama Githa?”
“hampir mau dua tahun.” Jawabku singkat  “jadi kamu mau pilih tema apa buat acara tunangan nanti? Biasanya sih kalo engga adat, Modern atau vintage”
“gue pengen nuansa biru.”
“oke, dekorasinya nuansa biru. Mau pake adat?” tanyaku.
“gue engga fokus,” Langit menatapku “gue kangen elo, Embun”
“kamu engga boleh gitu” lirihku. Aku terdiam, mengapa ia harus mengatakan hal gila seperti itu? jangan membuat harapan baru lagi Langit, setelah kamu datang dengan berita menyakitkan itu.
Langit mengerutkan dahinya “kenapa?”
“karena kamu mau tunangan” jawabku tegas.
Langit tersenyum miris “maaf”
“buat apa Langit? tanyaku
“buat segala hal, misalnya” Langit menjawab Embun, gue pernah bilang kan sama lo, lo bakal jadi rumah gue”
“tapi nyatanya aku bukan rumah kamu.” Aku mendesah “Langit, ayo kita bersikap profesional. Kamu klien aku, kita lupain dulu masa lalu buat kerjaan ini” ucapku mengalihkan perhatian.
Kamu tak pernah tahu Langit, gejolak apa yang sedang ku rasakan kini. Antara bahagia bertemu kembali denganmu dan sedih mengetahui fakta bahwa kamu akan bertunangan. Jika Tuhan mengizinkan, bisakah aku menghilang? Berdekatan dengan Langit membuat hatiku terkoyak lagi.

***

Agustus, , 2016
“Selamat ulang tahun”

Aku mengerjap ngerjapkan mataku tak percaya dengan pesan yang kubaca. Seorang Langit yang tidak suka dengan perayaan ulang tahun, tiba-tiba mengirimkan pesan singkat seperti ini padaku.
Dengan hati yang masih kurang percaya aku membalas pesan dari Langit. “terima kasih, telah mengejekku karena umurku semakin berkurang -_-“
“haha, ini kan sejarah elo,sebagai temen yang baik gue harus ngucapinlah. Elo harusnya beruntung karena jarang-jarang gue ngucapin kaya gini. lo tau sendirikan gue engga suka sama perayaan ulang tahun kaya gini.”
“oke oke, kadonya?”
“kado? Lo minta kado? Oke deh pulang sekolah gue tunggu elo di gerbang sekolah”
Aku tersenyum tak percaya dengan apa yang kubaca pagi ini. Tanpa makan coklat, rasanya hormon phenylethamine ku mulai bereaksi. Sepertinya aku tak perlu lagi mendapatkan ucapan dari siapapun, karena hanya satu ucapan dari Langit membuat ulang tahunku kali ini sangat berkesan. Wajar saja, selama berteman dengannya baru kali ini ia bersikap seperti ini padaku.
Seperti apa yang telah di janjikan Langit padaku tadi pagi, aku menunggunya di gerbang sekolah. Namun, setengah jam berlalu aku masih belum menemukan keberadaan Langit. Haruskah aku menyusul ke kelasnya saja? Setelah mempertimbangkannya, aku memutuskan untuk menyusul Langi ke kelasnya, namun sebelum aku melangkahkan kaki kembali masuk ke sekolah, suara klakson motor tiba-tiba mengalihkan pandanganku. Refleks aku mencari sumber suara klakson motor tesebut, ternyata Langit.
Ia membawa boneka teddy bear berwarna coklat hampir sebesar tubuhku. Sepertinya Langit sedikit kerepotan membawa boneka ini di boncengannya.
Aku tertawa, bahagia melihat Langit yang sedikit kerepotan membawa boneka besar ini. Langit turun dari motornya setelah melepaskan tali yang mengikat antara tubuh dan boneka teddy bear yang ia bonceng.
“nih buat lo. Gue sengaja izin pelajaran terakhir buat beli boneka ini. lo harus suka meskipun elo engga suka sama boneka. Gue bingung, yang elo suka itu banyak. Jadi gue pilih yang engga elo suka” Langit menyodorkan boneka itu padaku. “supaya elo inget”
“terimakasih” aku mengambilnya. “padahal masih banyak waktu., kamu engga seharusnya bolos kalo Cuma ngasih kaya ginian. Kamu  kan bisa ngasih ini di rumah. Mana ribet bawanya” aku mengamati pemberian dari Langit. Setelah ku amati boneka ini lebih besar daripada badanku.
“udahhh jangan ngeluhhh. Sini bonekanya biar gue yang bawa. Lo pake sepeda lo aja” aku hampir saja lupa, sepedaku. Maklum, selama aku sekolah sepedalah yang menjadi trasportasi ku menuju sekolah. Jarak sekolah dan rumah memang tidak teralu jauh, itulah sebabnya aku meminta sepeda daripada sepeda motor untuk menjadi alat transportasiku.
Langit mengambil paksa Bonekaku sementara aku kembali ke parkiran sekolah membawa sepeda kesayanganku.

Langit, karenamu aku menjadi si perasa yang selalu menerka sikapmu, bahkan setiap hari aku selalu mempertanyakan tentang perasaan ini. siapakah kita? Sepasang teman yang mencoba membohongi perasaan ataukan si perempuan yang terjebak cinta yang salah?

***
November, , 2016
“ayooo” aku menyeret Langit menuju foto box. Hari ini sekolah meliburkan semua siswa siswinya karena semua guru guru akan mengadakan rapat untuk Ujian Nasional yang hampir di depan mata. Karena waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, aku menyeret Langit untuk ikut bersamaku.
Ya, kini aku dan Langit sedang ada di wahana permainan. Seperti time zone. Ku lihat ada Photobox yang masih sepi pengunjung. Tanpa fikir panjang ku seret Langit untuk ikut masuk berfoto denganku. Sebagai kenang-kenangan. Karena difikir fikir selama aku berteman dengannya belum satukalipun aku berfoto bersama dengan langit.
“ahhh gue engga mau” Langit beberapa kali mencoba kabur setelah tahu bahwa aku mengajaknya ke tempat ini.
“ayooo buat kenang kenangan” aku memegang tangan Langit, takut takut ia kembali lari “sekaliiiiii aja” sambil mengacungkan jari telinjukku sambil merengek.
“oke oke. Sekali aja” Langit menyerah, akhirnya ia mengalah dan mengabulkan permintaanku untuk masuk kedalam ruangan berukuran 1x1 meter ini, mereka menyebutnya photobox.
Entah berapa gaya yang telah aku keluarkan. Sementara Langit hanya tersenyum kaku, sesekali ia tertawa memperlihatkan gigi putihnya.
Langit sepertinya sedikit frustasi ku ajak berfoto, setelah keluar dari ruang berukuran 1x1 meter itu Langit langsung mencari minum, sementara aku masih menunggu hasil foto yang langsung di cetak. Tak membutuhkan waktu lama, karena tempat ini masih sepi pengunjung, maklum, jam masih menunjukkan pukul 11 siang.  Semua orang masih berkutat pada pekerjaannya nya masing-masing.
Ada satu pose yang sangat aku sukai. Ketika aku dan Langit tertawa. Entah kenapa aku sangat suka dengan foto yang satu ini.
“kamu mau?” aku menyodorkan hasil foto yang telah dicetak pada Langit.
“engga ahh, ekspresi elo ngeri-ngeri” Langit bergidig, sementara aku memajukan bibirku, sedikit mencibir Langit yang mengatakan bahwa ekpresiku mengerikan.
“ yaudah” aku memasukan foto itu kedalam selipan buku di tasku.
“ngapain sih kesini?” tanya Langit
“main, kamu enggak mau?” jawabku
“bukan enggak mau, lagi ga ada duit buat traktir elo. Uang gue abis buat beliin elo boneka gede itu”
“suruh siapa. Aku engga minta” aku menjulurkan lidahku.
“elo engga ngerasa spesial gitu gue kasih boneka?”
Spesial? Tentu saja Langit. Hari itu aku merasa aku adalah perempuan paling bahagia.
“spesial? Kamu kira nasi goreng?” dustaku
“Embun”
“hmmm”
“kenapa sih engga elo gue aja pas ngomong sama gue?”
“terlalu tinggi kan akunya pendek”
“hahaha, cewe pecandu novel bisa ngelawak juga ternyata” Langit mengacak-acak rambutku.
“emang lucu ya?” tanyaku polos. Langit tertawa terbahak-bahak.
“elo polos atau gimana sihhh” Langit masih tertawa.
“udah ahhh, aku mau main bukannya di ketawain” aku berlalu begitu saja meninggalkan Langit yang masih tertawa. Entah perkataan mana yang membuat ia tertawa terpingkal pingkal. Menurutku aku tidak mengatakan hal yang lucu.

“heiiii, tunggu gue Embunn”
***  


To be continue

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Sunset Is Beautiful, Isn't It?

Bertemu, lalu berdamai