Obrolan Senja [15]
Begini,
Hari
ini aku melihat laki-laki itu di seberang jalan sedang duduk di halte sambil sibuk
memainkan smartphonenya.
Aku
tersenyum getir, mengingat rasanya sudah lama tidak berkabar dengan laki-laki
itu. laki-laki yang pernah mengisi ruang di hatiku empat tahun yang lalu. Disaat
masa-masa SMA yang menurut sebagian orang adalah masa paling indah.
Jika
dihitung sampai detik ini, aku sudah mengenalnya selama tujuh tahun.
Aku
jatuh cinta, pada laki-laki di seberang sana. Dahulu.
Pada
akhirnya aku mulai mundur perlahan. Laki-laki itu tidak akan pernah diciptakan
untuk manusia sepertiku. Bak dongeng di novel picisanku, laki-laki itu adalah
pangeran tampan yang terlihat dingin namun memiliki hati yang hangat. Laki-laki
ini, tidak sembarang kenal dengan setiap manusia. Aku, adalah manusia paling
beruntung karena pernah menjadi salahsatu bagian dari orang yang sering
merepotka hidupnya. Laki-laki itu adalah pendengar terbaik di hidupku.
Aku berjalan perlahan sebelum laki-laki itu menyadari keberadaanku. Aku tidak boleh terlihat oleh radar penglihatannya. Bertatap dengannya hanya akan membuatku kembali membuka kenangan-kenangan rumit bersama laki-laki itu.
Aku
menghela nafas, rasa sesak kembali muncul. Rindukah aku pada laki-laki itu? Bukankah
aku berjanji tidak akan membuka lagi cerita di masa-masa itu?
Baiklah,
manusia sepertiku suka kembali mengorek-ngorek luka yang telah lama sembuh.
Aku
akan menceritakan kembali kisahku bersama laki-laki itu.
Laki-laki
itu tidak pernah mematahkan hatiku. Lukaku ada karena kelakuan konyolku karena
terlalu mencintai laki-laki itu.
Aku
tidak akan pernah merasakan luka sejauh ini jika saja aku bisa mengendalikan
imajinasiku tentang novel roman picisan. Seperti novel yang sering aku baca,
laki-laki itu adalah pangeran yang datang di kehidupan perempuan buruk rupa
sepertiku dan menjadi seorang teman baik, pada awalnya. Tanpa memandang fisik,
laki-laki itu mau berteman denganku. Perempuan manapun akan merasa bahagia
bukan?
Imajinasiku,
memang pembunuh paling mematikan.
Perasaanku
dulu tidak pernah aku akui sebelum aku mengetahui fakta bahwa laki-laki itu
mencintai sahabatku. Dilemma bukan? Aku harus bahagia dan patah hati di waktu
yang bersamaan.
Tapi,
aku tidak menyerah untuk tetap mencintainya.
Aku
sadar, perempuan buruk rupa tidak akan pernah bisa mendapatkan pangeran tampan
sampai kapanpun. Tapi tolong garis bawahi, aku memiliki cinta yang banyak,
dan aku memiliki tingkat kesetiaan yang tinggi jika dibandingkan perempuan
manapun yang mencintainya.
Hah,
semua Cuma ilusi. Laki-laki itu tidak pernah menganggapku lebih dari seorang
teman.
Aku
selalu percaya, bahwa doa adalah jalan paling ampuh membolak balikan hati
manusia manapun. Termasuk membolak balikkan hati laki-laki itu. Berharap laki-laki
itu bisa mencintai perempuan buruk rupa yang selalu menganggap dirinya paling
unggul dalam mencintai laki-laki itu.
Aku
pernah melupakannya, namun hanya beberapa saat. Beberapa waktu laki-laki itu
tidak pernah muncul lagi dalam ruang imajinasiku. Aku sibuk dengan dunia baruku
dan laki-laki itupun mungkin sama.
Hingga
pada akhirnya, duaribu delapan belas laki-laki itu sukses membuat semestaku
runtuh. Hatiku seperti ditikam pisau, menyakitkan. Laki-laki itu mencintai
seorang perempuan cantik.
Aku
menyalahi diriku, meruntuki kebodohanku, mencaci fisikku yang buruk rupa. Seandainya
aku cantik, mungkin saja laki-laki itu akan mencintaiku sama seperti aku
mencintainya.
Lagi-lagi,
aku Cuma pengecut yang hanya bisa mencintainya sebatas doa. Bahkan setiap
ibadahku, aku terus menerus merayu Penciptaku agar terus di dekatkan dengan
ciptaan-Nya: Kamu.
Aku
menyerah. Pada akhirnya aku menyerah. Aku menyerah mencintai laki-laki itu
Empat
tahun sudah, beberapa laki-laki telah bolak balik megisi hatiku. Membuatku patah
hati dan jatuh cinta. Tapi, laki-laki itu ternyata tidak pernah lepas dari
hatiku. Namanya selalu ada mengisi ruang hatiku. Tidak ada cinta yang besar
untuk laki-laki manapun.
Ada
apa ini? apakah jatuh cinta pada laki-laki itu serumit ini? apakah hanya karena
aku tidak ikhlas dengan cinta tidak berbalas ini?
Bodohnya
perempuan sepertiku: tanpa sadar, aku selalu berdoa akan kebahagiaan laki-laki
itu. Aku berdoa agar ada perempuan yang bisa lebih menyayanginya dibandingkan
aku. Aku benar-benar bodoh.
Bersamanya,
aku selalu ingin terlihat baik. Tapi terkadang kepura-puraan ini menyiksaku,
aku pernah tidak tampil apa adanya hanya
untuk dilirik oleh laki-laki itu. Tapi, bukankah cinta yang sesungguhnya adalah
cinta yang apa adanya.
Lalu,
apakah ini cinta atau sebatas obsesi. Obsesi atas imajinasiku yang terdoktrin
oleh jalan cerita novel picisan yang sering aku baca.
Apakah
ini jatuh cinta yang sesungguhnya? Apa hanya sebatas candu karena laki-laki itu
adalah pendengar yang baik?
Jika
saja jalan cerita ini bisa berubah. Aku akan tetap membiarkannya seperti ini.
aku tidak akan pernah menginginkan laki-laki itu yang menjadi teman hidupku
nanti. Aku sadar, cinta seperti ini adalah cinta yang sering menyiksa setiap
manusia di muka bumi ini.
Laki-laki
itu memang selalu berada dalam radarku, namun ia bukan bagian dari takdir yang
Tuhan ciptakan untukku. Setiap hari, meskipun tanpa sadar nama laki-laki itu
sering menghiasi doaku tidak apa-apa. Mendoakannya tidak akan merugikanku.
Semoga
kamu bahagia, itu doa yang sering aku pinta pada Tuhanku.
Terlepas
dari jatuh cinta kah aku pada laki-laki itu, entahlah. Biar jadi cerita rumit
yang pernah aku jalani semasa hidupku.
Laki-laki
itu mengajarkanku bagaimana belajar untuk mengiklaskan.
Laki-laki
itu membuatku menyadari betapa pentingnya mencintai diri sendiri.
Laki-laki
itu, aku sudah melepaskannya.
Aku
berjalan, menjauhinya. Hatiku mungkin masih belum baik-baik saja. Semoga suatu
saat nanti, akan ada masa dimana bertemu dengan laki-laki itu bukan perasaan cinta
yang muncul. Tapi kebahagiaan karena aku telah mampu mengikhlaskan.
pict by google
Komentar
Posting Komentar